Tuesday, July 15, 2008

Privatisasi, Jalan Pintas Mengisi Kocek APBN

Privatisasi perusahaan-perusahaan plat merah alias Badan Usaha milik Negara (BUMN) menjadi cara paling gampang bagi pemerintah men-dapatkan setoran untuk mengisi kantong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Privatisasi bagaikan wasiat yang tidak boleh dilanggar oleh pemerintah, sehingga hukumnya menjadi 'wajib' bagi setiap pengusaha di negeri ini.

Bahkan sejak era Pemerintahan Abdurrahman Wahid dibentuk tim Tim Konsultasi Privatisasi BUMN berda-sarkan Surat Keputusan Presiden No.24/2001. Tim Konsultasi itu lah yang memberikan rekomendasi kepada Men-teri Keuangan mengenai, BUMN yang akan diprivatisasi dan perkiraan dana yang dapat diperoleh sebagai hasil privatisasi. Untuk memperlancar keingin-an pemerintah menjual aset-aset perusa-haan milik negara itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Undang-undang (UU) No.19/2003 tentang BUMN.

Pada 2007, pemerintah menargetkan setoran privatisasi (netto) sebesar Rp 3,3 triliun. Namun, hingga akhir tahun setoran privatisasi hanya tercapai Rp 3,09 triliun. Tahun ini setoran privatisasi ditargetkan sebesar Rp 1,5 triliun. Tapi beberapa waktu lalu pemerintah merevisi target itu menjadi hanya Rp500 miliar.

Untuk mendapatkan tambahan kocek APBN, tahun ini pemerintah telah menyiapkan beberapa BUMN yang bakal diprivatisasi. BUMN yang diusulkan untuk diprivatisasi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PTB Inti, Rukindo, Bahtera Adi Guna, PT Perkebunan Nusantara III, PT Per-kebunan Nusantara IV, PT Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya.

Selain itu Semen Batu Raya, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero, Adhi Karya (diren-canakan rights issue), Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri (ada saham negara hampir 5 persen).

PT Dirgantara Industri, Boma Vista, PTB Barata, PTB Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, Yodya Karya, Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT Kraft Aceh, dan Industri Kapal Indonesia.

Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil memastikan rencana privatisasi terhadap 36 BUMN pada 2008 tetap berjalan meski harus menunggu persetujuan dari DPR RI yang hingga kini masih membahasnya. ”Semua persoalan privatisasi kita terus-kan, izin DPR juga kita teruskan,” katanya. ”Privatisasi untuk BUMN itu sendiri tetap, sebab kita perlu itu untuk mempercepat program restrukturisasi BUMN," tambah Sofyan.

Kepala Ekonom The Indonesia Eco-nomic Intelligence, Sunarsip menilai, meski rencana privatisasi itu mempunyai dasar hukum yang kuat dengan adanya UU No.19/2003, tapi privatisasi ber-potensi menimbulkan inkonsistensi. Bukan hanya, terhadap kebijakan restruk-turisasi BUMN yang direncanakan Ke-menterian BUMN sendiri maupun dengan kebijakan sektoralnya.

Sebagai contoh, pada tahun ini Kementerian BUMN berencana mela-kukan penawaran umum kedua (secon-dary offering) hingga 40 persen saham baru PT Kimia Farma Tbk, sekaligus mendivestasi maksimal 80,66 persen saham di PT Indofarma Tbk. Bila kebijakan ini dieksekusi, posisi kepemi-likan saham pemerintah di Kimia Farma tinggal 50 persen dan 0 persen di Indo-farma.

Pemerintah sepertinya berniat mele-pas kepemilikannya di kedua BUMN farmasi ini. Padahal, dalam Master Plan BUMN 2005 2009 dinyatakan bahwa untuk mendukung kebijakan sektor kesehatan dan bisa lebih berkompetisi di pasar global, pemerintah akan melakukan merger/konsolidasi PT. Kimia Farma dan PT. Indofarma. Anehkan?

Konflik privatisasi

Menengok pengalaman privatisasi yang pernah dilakukan seharusnya peme-rintah bisa mengambil hikmah cukup banyak. Lihat saja kasus yang paling aktual dan tidak akan pernah dilupakan adalah penjualan murah PT. Indosat kepada Temasek Singapura. Bukan hanya membuat rugi pemerintah, kini penjualan Indosat justru menimbulkan persoalan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan telah terjadi per-saingan tidak sehat dalam industri telekomunikasi akibat kepemilikan silang Temasek di Indosat dan Telkomsel.

Kebijakan Menteri baru BUMN Sofyan Djalil yang akan membuka semua BUMN untuk publik dikhawatirkan akan menuai konflik. Apalagi menyangkut kekayaan negara dan hajat hidup orang banyak. Bahkan, privatisasi sampai sekarang belum menunjukkan kinerja yang baik, lemahnya sistem kontrol, landasan hukum yang multi interpretasi, kepen-tingan politik dan korupsi telah meng-akibatkan kebijakan privatisasi menjadi kontraproduktif. Tujuan privatisasi untuk meningkatkan kinerja BUMN justru di tengah perjalanan merugikan dan banyak menghasilkan konflik politik dan korupsi.

Seharusnya yang harus dipikirkan pemerintah adalah bukan melego aset negara ke asing, tapi justru menasio-nalisasi perusahaan-perusahaan asing. Selama ini sumberdaya alam Indonesia justru banyak dikeruk oleh mereka. Rakyatpun tinggal gigit jari. Apalagi kemudian justru memberikan jalan untuk asing untuk masuk dengan keluarnya Undang-undang Penanaman Modal yang baru. Dalam UU tersebut, pihak asing dibolehkan menguasai saham perusahaan dalam negeri hingga 95 persen.

Karena itu Ilham M. Wijaya, Direktur Eksekutif Property Research Institutes (PRI) menganggap, tujuan privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan untuk menutup defisit APBN. Tujuan ini, kurang strategis dan bertentangan dengan semangat UUD 1945 Pasal 33 yang mewajibkan pemerintah menjadikan kekayaan negara untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Ilham menyatakan, rendahnya kinerja BUMN seharusnya bukan menjadi menjadi alasan pemerintah mempri-vatisasi. Meski harus diakui beberapa fakta menunjukkan pola birokrasi di BUMN sangat panjang, dari segi tranparasi dan akuntabilitas BUMN juga masih dipertanyakan. Namun demikian dia meminta, pemerintah bisa menahan hasrat swastanisasi ini dengan cara yang lebih mudah dan murah yaitu dengan restrukturisasi secara progresif dan reformatif.

Mansour Fakih dalam bukunya Bebas dari Neoliberalisme mengungkapkan, pemerintah sengaja membungkus priva-tisasi dengan istilah dan pemaknaan yang berbeda-beda. Misalnya, privatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) dibungkus dengan istilah otonomi kampus, dan privatisasi BUMN dimaknai sebagai meningkatkan peran serta masyarakat. Tujuan pembungkusan istilah dan makna privatisasi ini adalah untuk mengelabui pandangan publik.

Padahal langkah-langkah kebijakan privatisasi di Indonesia justru merupakan titipan asing. Privatisasi juga menjadi bagian utama program penyesuaian struktural yang dilahirkan di Washington pada 1980. Karena itu privatisasi selalu menjadi agenda globalisasi dan libera-lisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya, serta para investor. Tujuan prog-ram-program politik ekonomi yang mereka usung adalah untuk menjaga kesinambungan penjajahan para kapitalis terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.

Bahkan dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan bagaimana lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif terhadap permasalahan privatisasi di Indonesia. Sementara ADB dalam News Release yang berjudul Project Informa-tion: State-Owned Enterprise Gover-nance and Privatization Program tanggal 4 Desember 2001, memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia.

ADB menginginkan peningkatan par-tisipasi sektor swasta dalam BUMN yang mereka sebut bergerak di sektor komer-sial. Jadi lembaga-lembaga keuangan kapitalis, negara-negara kapitalis, dan para kapitalis kalangan investor sangat berkepentingan terhadap pelaksanaan privatisasi di Indonesia. Sebaliknya rakyat Indonesia sangat tidak berkepen-tingan terhadap privatisasi.

Para kapitalis ini menginginkan peme-rintah Indonesia membuka ladang penja-rahan bagi mereka. Mereka sebenarnya tidak mengharapkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia, tapi yang mereka inginkan adalah merampok kekayaan Indonesia.

Padahal Syariat Islam melarang peja-bat negara mengambil suatu kebijakan dengan menyerahkan penanganan eko-nomi kepada para kapitalis ataupun dengan menggunakan standar-standar kapitalis karena selain bertentangan dengan konsep syariah juga membaha-yakan negara dan masyarakat. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan.” (HR Ahmad & Ibn Majah). [zulkifli/www.suara-islam.com]

No comments: